Jakarta, IDN Times
Koalisi organisasi masyarakat sipil yang berada di bawah payung Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) menyebutkan adanya beberapa tindakan polisi yang tidak patut selama operasi pengamanan perayaan Hari Buruh Internasional atau May Day pada tanggal 1 Mei 2025 lalu. Hal ini disampaikan setelah acara bertepatan dengan hari kamis tersebut.
TAUD menganalisis berbagai bentuk kekerasan yang terjadi dalam aksi tersebut dengan mengumpulkan berbagai dokumentasi terkait bentuk kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian selama aksi May Day 2025.
1. Kekerasan oleh aparat kepolisian terhadap massa aksi terjadi di 4 kota/kabupaten
Berdasarkan data yang dihimpun, ada tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap massa aksi di 4 kota/kabupaten di Indonesia dengan setidaknya 20 korban mengalami luka-luka dan 58 orang mengalami penangkapan dan penahanan sewenang-wenang.
Di samping itu, terdapat juga bentuk-bentuk kekerasan lain seperti penyalahgunaan kekuatan, tindakan penyiksaan, serta pembatasan atas rekaman jurnalistik.
2. Sejumlah bentuk sikap serampangan kepolisian
Berdasarkan pemantauan yang telah dlakukan tersebut, TAUD menemukan fakta serta adanya pola pengamanan massa aksi yang dinilai hal tersebut dilakukan secara serampangan dan tidak sesuai peraturan perundang-undangan.
Berikut adalah temuan TAUD di lapangan!
Pertama, adanya tindak kekerasan terhadap petugas medis. Kekerasan kepada petugas medis ini terjadi di Jakarta Pusat, 1 Mei 2025. Dari beberapa dokumentasi yang dikumpulkan, tampak sekitar puluhan aparat kepolisian yang mengepung petugas medis. Pengepungan itu dilanjutkan dengan upaya penggeledahan paksa, ejekan, pemukulan, hingga penangkapan sewenang-wenang kepada petugas medis.
Kedua, kekerasan fisik, di antaranya massa aksi dipukul pada bagian kepala, dada, dan sekujur tubuh, ditendang, dipiting, diinjak dengan sepatu lars, dilindas dengan kendaraan bermotor. Bahkan kekerasan fisik berulang serta terus menerus ketika penangkapan tersebut dilakukan dalam durasi 3-4 menit.
Ketiga, penjebakan penangkapan dengan menggunakan ambulans. Tindakan ini terjadi di Semarang, 1 Mei 2025. Hal ini merupakan bentuk penjebakan
(entrapment)
yang dilakukan oleh aparat kepolisian dengan motif menangkap paksa massa aksi yang ingin mengakses fasilitas kesehatan di dalam ambulans tersebut.
Keempat, penanganan yang tidak baik terhadap peserta aksi massal. Kepolisian mengambil langkah-langkah pembatasan dan penyembunyian informasi.
(framing)
Kepada para peserta aksi yang sedang melakukan protes dengan tuduhan menjadi bagian dari kelompok anarko. Pernyataan tersebut secara gamblang mencoba merendahkan pergerakan masyarakat biasa yang menjalankan hak mereka untuk berekspresi dengan cara “menghancurkan reputasi” terhadap orang-orang dalam massa aksi yang telah diamankan oleh pihak kepolisian.
Kelima, kekerasan seksual terhadap wanita. Seorang korban lainnya pun menceritakan pengalamannya lewat akun X miliknya sendiri. Menurut keterangannya, dia dihina oleh petugas polisi menggunakan kata-kata seperti ‘lonte,’ ‘pukimak,’ dan bahkan ada yang mencabuli bajunya secara kasar. Di samping itu, dalam rekaman tersebut dapat dilihat bahwa seorang wanita dipaksakan untuk dibawa oleh aparat kepolisian.
Enam, polisi mendirikan perimeter pengapalan di sekitar kampus. Setelah para demonstran berhasil masuk ke dalam satu area universitas yang ada di Jawa Tengah, mereka disambut dengan ribuan personil dari pihak kepolisian dan individu tak dikenal lainnya yang berada di luar, siap melakukan pengepungan terhadap para aktivis yang tertahan di dalam kompleks tersebut. Kondisi ini membuat banyak peserta aksi merasa sangat cemas.
Ketujuh, penyalahgunaan tenaga berlebihan. Penyalahgunaan ini melibatkan penggunaan alat kontrol kerumunan tanpa peduli, contohnya menggunakan gas air miring atau meriam air sembarangan. Dari catatan-catatan yang telah kami kumpulkan, nampak beberapa kasus di mana peralatan kontrol keramaian tersebut digunakan, yaitu gas air mata serta meriam air.
(water cannon)
Yang dikonsumsi secara luas tanpa mempertimbangkan efeknya yang cukup merugikan bagi masyarakat umum.
Delapan, ada proses pemeriksaan yang sangat menyakitkan secara mental. Sikap penyiksaan emosional muncul ketika mendampingi para peserta aksi di Polda Metro Jaya. Seluruh massa aksi menjalani serangkaian pengecekan dari malam tanggal 1 Mei 2025 sampai pagi hari pada tanggal 2 Mei 2025, kira-kira antara pukul 05:00 Waktu Indonesia Barat dengan keadaan tubuh lelah serta memar dan berluka setelah ikut dalam unjuk rasa tersebut, ditambah lagi sakit karena telah merasakan penggunaan kekuatan berlebih.
Keenam, penutupan akses ke fasilitas publik. Sehari sebelum acara berlangsung, pihak kepolisian sudah membatasi beberapa tempat umum dengan alasan untuk “keamanan”. Namun, tindakan tersebut malah menyulitkan para pemakai fasilitas umum dan bahkan mencegah jalur evakuasi, misalnya seperti JPO di Jalanan Gatot Subroto yang menjadi satu-satunya jembatan yang bisa dipergunakan.
3. TAUD menyatakan empat titik permintaan yang mendesak
Mereka mengatakan bahwa pola-pola itu tidak merupakan sesuatu yang baru dalam pengawasan keamanan selama aksi massa. Menurut pandangan TAUD, situasi semacam ini telah terjadi sejak proses pengamannya aksi mulai tahun 2019, yaitu dari aksi #ReformasiDikorupsi sampai PenolakanRUU Tentara Nasional Indonesia di Maret 2025 kemarin.
Mereka menilai, sikap ini menunjukan institusi kepolisian tidak memiliki upaya perbaikan maupun pengawasan yang ketat dalam melaksanakan tugas-tugas pengamanan mereka. Kepolisian seolah digunakan sebagai alat untuk mengkriminalisasi serta membungkam suara-suara kritis masyarakat melalui tindak kekerasan serta intimidasi kepada setiap aksi yang dilakukan. Situasi ini sangat membahayakan bagi kehidupan demokrasi di Indonesia.
Maka dari itu, berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut, TAUD mengajukan empat titik permintaan.
Pertama, pemerintah perlu dapat menjalankan tanggung jawabnya sebagai
duty bearer
Hak asasi manusia bertujuan untuk mengurangi pelanggaran-pelanggaran sehingga tidak lagi berulang di kemudian hari.
Kedua, Polri perlu mampu mengevaluasi dengan komprehensif semua pelanggaran yang terjadi selama menjalankan tugas pengamanan aksi dan seharusnya mengambil langkah hukum terhadap anggotanya yang melanggar aturan. Penanganan kasus ini tak boleh dibatasi pada tingkat etika saja, namun juga harus diselesaikan lewat sistem peradilan pidana agar mendapatkan sanksi yang sesuai.
Ketiga, Korps Polri harus segera menggelar penyelidikan menyeluruh tentang dugaan pelanggaran yang dilakukan aparat kepolisian. Untuk mencegah pola tersebut terus berulang, disampaikannya saran dengan nada tegas dan mendesak sebagai upaya pencegahan sehingga insiden semacam itu tak lagi terjadi di masa depan.
Keempat, Komnas HAM harus segera mengambil tindakan dan memulai investigasi pro-justisia tentang deretan kejadian penanganan aksi yang sudah berlangsung lama tersebut.