PIKIRAN RAKYAT SULTENG
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah merespons penandatanganan UU No. 1 Tahun 2025, yaitu revisi ketiga terhadap UU No. 19 Tahun 2003 mengenai Perusahaan Perseroan Milik Negara (PPMN).
KPK menyatakan apresiasinya terhadap upaya pemerintah dalam memperkuat peran strategis BUMN demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Ketua KPK, Setyo Budiyanto, menegaskan bahwa KPK siap mendukung upaya penguatan BUMN sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dalam memberantas tindak pidana korupsi.
“Upaya memperkuat peran BUMN tentu membutuhkan dukungan dari seluruh pihak, termasuk KPK dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya memberantas korupsi,” ujarnya.
Meskipun demikian, KPK mencermati adanya beberapa ketentuan dalam UU Nomor 1 Tahun 2025 yang berpotensi menimbulkan interpretasi yang keliru seolah-olah membatasi kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan tindak pidana korupsi (TPK) yang terjadi di lingkungan BUMN. Menanggapi hal ini, KPK menyampaikan beberapa poin penegasan yang sangat penting:
Posisi Pegawai Negeri di Badan Usaha Milik Negara:
Mengevaluasi Pasal 9G UU No. 1 Tahun 2025 yang menegaskan bahwa anggota direksi, dewan komisaris, serta dewan pengawas perusahaan milik negara (BUMN) bukan termasuk penyelenggara negara, KPK mengeluarkan keterangan resmi. Berdasarkan pandangan mereka, aturan tersebut bertolak belakang dengan definisi penyelenggara negara yang sudah ditetapkan secara rinci pada Pasal 1 ayat 1 dan Pasal 2 ayat 7 bersama-sama dengan catatan-catatan terkaitnya dalam UU No. 28 Tahun 1999 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Terhadap Tindakan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
KPK menekankan bahwa Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 merupakan
lex specialis
atau hukum administrasi khusus yang secara eksplisit mengatur mengenai penyelenggara negara dalam konteks pencegahan praktik KKN. Oleh karena itu, dalam ranah penegakan hukum tindak pidana korupsi, KPK akan tetap merujuk dan berpedoman pada UU Nomor 28 Tahun 1999 tersebut.
Lebih lanjut, KPK menyoroti penjelasan Pasal 9G UU Nomor 1 Tahun 2025 yang secara eksplisit menyatakan bahwa: “Tidak dimaknai bahwa bukan merupakan penyelenggara negara yang menjadi pengurus BUMN statusnya sebagai penyelenggara negara akan hilang.” KPK menilai bahwa penjelasan ini justru semakin memperkuat argumentasi bahwa status penyelenggara negara tetap melekat pada para pengurus BUMN.
Dengan demikian, KPK menyimpulkan secara tegas bahwa anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN tetap memiliki status sebagai penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999. Sebagai konsekuensinya, para pengurus BUMN tetap memiliki kewajiban untuk menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) secara periodik dan melaporkan setiap penerimaan gratifikasi sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Kerugian BUMN Sebagai Kerugian Negara:
Terkait dengan Pasal 4B UU Nomor 1 Tahun 2025 yang menyebutkan bahwa kerugian BUMN tidak termasuk dalam kategori kerugian keuangan negara, serta Pasal 4 ayat (5) yang menyatakan bahwa modal negara yang disetor kepada BUMN merupakan kekayaan BUMN, KPK memberikan penegasan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
KPK menyatakan bahwa pihaknya akan tetap mengacu pada serangkaian Putusan Mahkamah Konstitusi yang relevan, yaitu Putusan MK Nomor 48/PUU-XI/2013 dan Nomor 62/PUU-XI/2013, yang kemudian diperkuat oleh Putusan MK Nomor 59/PUU-XVI/2018 dan Nomor 26/PUU-XIX/2021. KPK menegaskan bahwa seluruh putusan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan acuan final dan mengikat mengenai kedudukan kekayaan negara yang dipisahkan, termasuk modal negara pada BUMN.
Dalam putusan-putusan tersebut, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara jelas menegaskan bahwa kekayaan negara yang dipisahkan, termasuk modal negara yang disetor kepada BUMN, tetap merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keuangan negara karena BUMN merupakan derivasi dari penguasaan negara. Oleh karena itu, segala bentuk pengaturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar 1945 tidak diperbolehkan menyimpang dari interpretasi konstitusi yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan argumentasi hukum tersebut, KPK menyimpulkan bahwa kerugian yang terjadi di lingkungan BUMN tetap merupakan kerugian keuangan negara, yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidananya kepada anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN apabila memenuhi unsur-unsur tindak pidana korupsi.
Pertanggungjawaban pidana ini dapat dikenakan apabila kerugian keuangan negara tersebut timbul akibat perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan wewenang, atau penyimpangan atas prinsip
Business Judgment Rule
(BJR) sebagaimana diatur dalam Pasal 3Y dan Pasal 9F UU Nomor 1 Tahun 2025. Hal ini mencakup berbagai tindakan seperti
fraud
(penipuan), suap, tidak adanya iktikad baik dalam menjalankan tugas, adanya konflik kepentingan yang tidak diungkapkan, maupun kelalaian yang signifikan dalam mencegah timbulnya kerugian negara.
Mengacu pada seluruh uraian tersebut, KPK menegaskan kembali bahwa lembaga antirasuah ini tetap memiliki kewenangan yang sah untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas di lingkungan BUMN. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa secara hukum pidana, status mereka tetap sebagai penyelenggara negara, dan kerugian yang terjadi di BUMN tetap dikategorikan sebagai kerugian negara, selama terbukti adanya perbuatan melawan hukum atau penyimpangan dari prinsip
Business Judgment Rule
.
Ketua KPK, Setyo Budiyanto, juga mengutip Pasal 11 ayat (1) huruf a dan b Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XVII/2019 yang menyatakan bahwa frasa “dan/atau” dalam pasal tersebut dapat ditafsirkan secara kumulatif maupun alternatif. “Artinya, KPK tetap dapat menangani kasus korupsi di BUMN jika terdapat penyelenggara negara, kerugian negara, atau bahkan salah satu di antaranya,” tegasnya.
Selanjutnya, KPK menganggap bahwa penegakan hukum atas kejahatan korupsi dalam lingkungan Badan Usaha Milik Negara adalah elemen integral dari usaha untuk mendukung implementasi manajemen perusahaan yang efektif dan bertanggung jawab.
Good Corporate Governance
“Dengan manajemen yang efektif, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai wujud dari ekstensi negara bisa dijalankan dengan transparansi serta kejujuran untuk kesejahteraan maksimal masyarakat Indonesia,” demikian penutupan oleh Ketua KPK, Setyo Budiyanto.