Bekerja Sampai Sakit, Lalu Dipecat: Ada Apa dengan Dunia Kerja Kita?

Sebuah karyawan perbankan di PHK karena mengalami penyakit usai bekerja selama 20 jam sehari. Sebenarnya apa yang keliru dalam sistim kerja kita saat ini? Ayo kita diskusikan secara terbuka dan penuh introspeksi.

Ketika Tubuh Menyerah Tapi Dunia Tak Peduli

Saya pernah begitu bangga saat bisa menyelesaikan pekerjaan meski jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari.

Merasa layak sebagai seorang pahlwan. Merasa sudah menunjukkan dedikasi yang sangat besar.

Namun beberapa tahun setelah itu, saat tubuh mulai sering kali sakit dan pagi terasa berat bagiku, aku menyadari bahwa apa yang kuselebrasi dahulu bukanlah kesuksesanku. Sebaliknya, itu adalah kegagalanku untuk merawat diri sendiri.

Kemarin aku menemukan satu artikel. Artikel tersebut seolah-semesteran memukulku.

Seorang karyawan dari sebuah bank investasi swasta di Milwaukee, AS, menderita gagal pankreas usai ditekan untuk bekerja selama 20 jam sehari dan kemudian dilepaskan begitu saja. Sepertinya tubuhnya yang tumbang itu menjadi suatu kesalahan.
KOMPAS.COM
)

Kisah ini menyebar cepat, menimbulkan gelombang empati dan kemarahan. Tapi yang lebih penting dari berita itu sendiri adalah pertanyaan yang menyusul di belakangnya: sebenarnya, ada apa dengan dunia kerja kita?

Budaya Lembur: Dilegalkan, Dirayakan, Dihabiskan

Di Jepang, kematian karena kerja berlebihan bahkan punya nama sendiri:
karoshi.
“Kematian akibat beban kerja berlebihan.” Kondisi ini menjadi terkenal sejak akhir tahun 1960-an dan mengacu pada meninggalnya secara tiba-tiba dikarenakan serangan jantung, strok, atau bahkan bunuh diri yang dipicu oleh tekanan emosional tinggi serta waktukerja yang tidak wajar.

Di Tiongkok, sistem kerja “996: jam 9 pagi sampai 9 malam, 6 hari seminggu pernah dielu-elukan sebagai standar industri. Sistem 996 sebagai “berkah besar” bagi pekerja

Bekerja melebihi 55 jam dalam seminggu dapat meningkatkan kemungkinan mengalami strok sebesar 35%, sesuai dengan informasi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Badan Internasional untuk Urusan Tenaga Kerja (ILO). Kemudian, risiko terkena penyakit jantung juga bertambah menjadi 17%. Namun, statistik tersebut mungkin tampak tidak berarti… hingga tubuh Anda sendiri memulai menyuarakan tanda-tandanya. Keletihan. Rasa nyeri. Dan sakit kepala yang tak tertahankan.
KOMPAS.COM
-18/05/2021)

Namun mari kita teruskan. Sebab khawatir akan kehilangan pekerjaan. Karena menginginkan pengakuan atas prestasi. Karena kami tidak mau jadi beban.

Manusia Bukan Mesin

Hidup kita berada di tengah budaya yang sangat mengagungkan produktivitas, bahkan terkadang sampai melampaui batas kemanusiaan.

Kembali pada waktunya dianggap sebagai ketidaksukaan terhadap pekerjaan. Kerja lembur tanpa pemberitahuan menjadi tolak ukur kesetiaan.

Sebenarnya, tidak segala sesuatu dapat diatasi dengan bekerja lebih keras lagi. Begitu pula, tidak seluruh hasil positif berasal dari waktu kerja yang lama.

Saya pun pernah merasa bangga terhadap lingkaran gelap yang ada di bawah mata saya. Seperti halnya sebuah medalion dari pertempuran.

Namun secara bertahap, saya menyadari: tubuhku mulai memberontak. Tidak hanya tubuh, tetapi juga jiwa. Mulailah saya merasakan hilangnya arti dalam pekerjaan yang dilakukan.

Ketika Rumah Kehilangan Fungsi Sebagai Rumah

Budaya kerja ekstrem bukan hanya merusak individu. Tapi juga merenggut banyak hal dari hidup kita tanpa kita sadar.

Saat seorang ayah atau ibu pulang larut setiap malam, bukan hanya tubuh mereka yang letih. Tapi relasi keluarga juga tergerus.

Anak kehilangan waktu dekat dengan orangtuanya. Pasangan kehilangan ruang untuk bercerita.

Rumah pun kehilangan fungsinya sebagai tempat pulang yang sesungguhnya.

Sementara itu, para pekerja kontrak ataupun outsourced menghadapi situasi yang bahkan lebih menyakitkan. Kala mereka sedang tidak sehat, mungkin saja tak terdapat jaminan apapun.

Jika sudah tidak produktif lagi, mereka diganti. Tak ada ucapan terima kasih. Tidak ada janji perpanjangan. Cuma diabaikan lalu lenyap tanpa jejak dalam sistem.

Saya Juga Pernah Merupakan Sebagian Dari Masalah Ini

Sejujurnya, saya telah turut serta dalam memperingati budaya ini. Saya menganggap waktu untuk beristirahat sebagai suatu bentuk kemewahan. Nilai diriku seringkali diukur oleh durasi lamanya aku duduk di hadapan laptop. Namun saat ini, sadarlah bahwa pemikiran itu keliru.

Saya keliru karena mengizinkan jasmani saya dijadikan sebagai alat. Saya keliru karena tidak melindungi hak-hak diri saya sendiri. Dan saya merasa terpilin karena pernah berkontribusi pada suatu budaya yang sekarang menjadi penyesalan bagi saya.

Namun Bisakah Kitalah yang Berubah?

Saya yakin mampu melakukannya. Dan tentunya perlu.

Sebab pekerjaan tidak melulu tentang berapa jumlah penghasilan yang didapat. Melainkan cara kita dapat bertahan, terjaga kesehatannya, serta senantiasa ada untuk diri sendiri dan juga orang lain.

Pertama-tama, kita harus berani mengubah cara pandang: Istirahat bukan kelemahan. Pulang tepat waktu bukan tanda tidak berdedikasi. Menolak lembur tanpa alasan yang jelas bukan dosa.

Kita juga bisa mulai mengubah lingkungan kerja. Bukan hanya dengan menyediakan ruang istirahat atau sesi yoga mingguan.

Tapi dengan sungguh-sungguh menghargai waktu hidup orang lain. Tidak memberi tugas mendadak di luar jam kerja. Tidak merayakan budaya sibuk.

Dan tentu saja, pemerintah harus hadir. Dengan regulasi yang lebih tegas. Dengan perlindungan nyata bagi pekerja, terutama yang rentan. Dan dengan insentif bagi perusahaan yang sungguh-sungguh membangun budaya kerja yang sehat.

Dunia Kerja yang Sehat Bukan Mimpi

Saya membayangkan dunia kerja tempat orang bisa berkata, “Saya lelah,” tanpa takut kehilangan pekerjaan.

Lokasi di mana bekerja melebihi batas waktu bukanlah norma. Lokasi di mana dedikasi diberi penghargaan, namun tanpa merugikan kondisi fisik seseorang.

Saya yakin bahwa dunia semacam itu dapat terwujud. Namun, hal tersebut tak akan turun dari langit begitu saja. Dunia ini timbul dari diri kita sendiri. Berawal dari berani mengucapkan “cukup”. Diprakarsai oleh rasa persatuan dan saling melindungi satu sama lain. Dimulai dengan komitmen untuk menciptakan lingkungan kerja yang tidak hanya efisien tetapi juga penuh empati.

Karena Kita Bekerja Untuk Hidup, Bukan Sebaliknya

Kisah pegawai bank yang sakit lalu dipecat bukan cuma berita viral. Ia adalah sinyal. Bahwa sistem ini rusak. Bahwa kita tak bisa terus begini.

Mari kita mulai dari diri sendiri. Pulanglah tepat waktu. Istirahatlah dengan tenang. Jangan merasa bersalah saat mengambil cuti. Dan jika bisa, suarakan ini di tempat kerja. Bukan untuk memberontak. Tapi untuk mengingatkan: kita ini manusia.

Dan dunia kerja yang manusiawi, bukan beban. Ia adalah investasi. Untuk masa depan yang lebih sehat. Untuk hidup yang lebih utuh.

Karena pada akhirnya, hidup bukan soal target. Tapi tentang bagaimana kita bisa hadir, sehat, dan bahagia bukan hanya sebagai pekerja. Tapi sebagai manusia seutuhnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *