Ojol Dorong Pemerintah Bentuk Regulasi Bersama Komunitas Mitra Pengemudi


smibu news

Ribuan driver jasa transportasi daring dari berbagai kelompok menggelar protes di hadapan Kementerian Tenaga Kerja pada hari Kamis tanggal 8 Mei. Para pendemo mencurahkan keprihatinan mereka terhadap sejumlah regulasi serta wacana masyarakat yang diyakini bisa merusak citra dan memiliki motif politik.

Ketika ditanya tentang hal tersebut, Ketua Presidium Koalisi Ojek Online Nasional Andi Kristianto mengungkapkan bahwa masalah para supir ojek online saat ini telah melewati batas kenyamanan dan kebijakan perlindungan. Menurutnya, isu ini malahan bergeser menjadi instrumen dalam arena politik. Dia mencurigai beberapa kelompok yang kurang memahami situasi riil di lapangan adalah penyebab utamanya.

“Saat ini kita memang belum sepenuhnya baik. Namun pada saat bersamaan, berbagai kepentingan elit justru mengambil kesempatan untuk memecah belahkan kita gunakan tujuan mereka sendiri dan golongan mereka,” terang Andi, Jumat (9/5).

Masalah THR, jaminan pensiun, serta tekanan untuk mengubah status menjadi karyawan tetap, kata dia lagi, sering kali timbul tidak karena hasrat sebenarnya dari kalangan supir. Sebaliknya, hal tersebut diusulkan oleh pihak-pihak tertentu dengan tujuan citra diri atau keuntungan politis dalam pemilihan.

Pengemudi sering kali menjadi pusat perhatian. Namun, mereka jarang diminta berpartisipasi secara aktif dalam mengambil keputusan. “Kami bukanlah panggung untuk politik. Kami juga bukan objek dari cerita apa pun,” katanya.

Andi mengerti dari awal bahwa para sopir menjalin hubungan kerja berbasis kemitraan, bukan sebagai pekerja formal. Meski demikian, sampai hari ini struktur kemitraan tersebut masih kurang dukungan peraturan yang cukup sehingga membuat status mitra pengemudi menjadi sangat tidak stabil.

“Kami tidak ingin jadi buruh, tapi juga tidak mau terus-menerus jadi mitra yang dirugikan,” imbuhnya.

Dia menegaskan bahwa Kemenaker tidak boleh memaksa mitra pengemudi terlibat dalam sistem hubungan industri karena hal itu bertentangan dengan prinsip-prinsip kemitraan digital. Untuk benar-benar mendukung para pengemudi, pihak berwenang perlu merumuskan aturan yang lebih adil dan pro-pengemudi, tentunya sambil mencakup partisipasi aktif dari komunitas mereka sebagai pemain utama.

Ketika dihubungi oleh Jawa Pos beberapa waktu yang lalu, Grab Indonesia menyatakan bahwa ekosistem bisnis serta model operasional mereka tidak sama dengan perusahaan tradisional. “Kami sadar bahwa ini adalah salah satu langkah pemerintah dalam rangka meningkatkan kepastian hukum dan proteksi bagi supir-supir kami. Akan tetapi, sampai saat ini kita belum mendapatkan rincian resmi terkait rencana regulasi tersebut,” ungkap Chief of Public Affairs Grab Indonesia Tirza Munusamy.

Rencana selanjutnya, sambung dia, masalah ini juga akan dijadikan sebagai salah satu pembicaraan utama dengan pihak-pihak terkait dalam industri tersebut pada pertemuan mendatang. Perlu diketahui bahwa Grab Indonesia mempunyai sistem bisnis tersendiri. Dia menegaskan lagi, “Kolaborasi masih merupakan metode utama bagi Grab.”

Di luar menyediakan fleksibelitas pada sopir untuk menyesuaikan jadwal kerja dengan permintaan, skema kemitraan juga menciptakan kesempatan besar bagi publik guna mendapatkan pemasukan tambahan secara independen dan bertahan dalam jangka panjang. Ini bahkan bisa menjadi asal-usul pendapatan yang handal selama periode perubahan atau ketika terjadi hambatan finansial. Bila para driver mitra digolongkan sebagai pegawai tetap, maka tingkat fleksibiltias tersebut bakal lenyap.

“Ketentuan mereka mencakup peraturan mengenai waktu bekerja, ambang batas umur, tujuan pencapaian performa, dan juga ada pembatasan jumlah mitra yang bisa mendaftar di platfom tersebut,” ungkap Tirsa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *